Senin, 27 Desember 2010

Hangat - Hangat Taik Ayam

            Sumpah! Aku kalau bikin cerita itu jarang ada yang berpenyelesainan. Awalnya dengan semangat 45’ bertekad untuk membuat sebuah novel. Tapi pada akhirnya apa? Nihil. Bukannya selesai tapi malah tidak semangat nulis lagi. Iya sih ada juga yang selesai, tapi dua atau tiga buah. Dan itu pun sungguh tak menarik.
            Kalau diingat-ingat, idenya udah banyak muncul tiba-tiba. Tapi yang namanya muncul berlabel tiba-tiba hilangnya juga tiba-tiba. Wah, setan dong. Wakak!
            Pernah waktu itu kepikir buat novel bertema kehidupan remaja. Kira-kira seusiaku-lah. Ide itu muncul ketika membaca novel koleksi adekku. Dan sempat terpikir, “Wah enak juga ya kalau bisa bikin satuuu saja novel. Setidaknya dapat duitlah.” Waduh, itu niat namanya tak ikhlas buk!
            Dan lagi-lagi aku terdorong buat bikin novel. Ini karena adekku. Katanya ia bakal ngebuat sebuah kumpulan cerpen dan akan dikirim ke sebuah penerbit yang cukup terkenal. “Wi, ayolah buat novel. Kan awi lagi liburan sekarang. Ntar dapat duit lho.” Wah-wah, kematrean ku muncul lagi deh.”
            Yah, kalau dibayang-bayangin sih enak. Tapi ketika mempraktekan, ampun deh. Tangan kayaknya gak niat ngebantu. Maklum, aku membuatnya pake tulisan tangan. Lagian laptopnya satu untuk semua. Takutnya dibaca sama tuyul kecil. Hoho, aku jadi malu buk. Ntar diconteknya atau di atas nama dia lagi. Pernah waktu itu aku membantu PR mengarangnya dia. Aku buat deh sebuah cerpen untuknya. Dan waktu SD aku niat kali bikin cerpen yang tak menarik. Eh tau-taunya cerpen-cerpen itu akan dikumpulkannya ke dalam kumpulan cerpen dia yang mana akan dikirim ke penerbit. Aku marah besar  ketika tahu akan itu. Enak sekali hidup lo, orang yang susah-susah bikin, eh malah dicuri. Ya akhirnya kita sepakat kalau dia harus membeli cerpen ku itu. Itupun duitnya diserahterimakan kalau kumcernya udah terjual. Kembali ke permasalahan.
            Awalnya aku iseng membuat gambar wajah, ya udah aku terusin aja. Tak jelek-jelek amatlah. Ih wow, bakat seni ku ternyata ada! *bangga. Bayangkan, aku membuatnya sambil senyam-senyum tak jelas. Cck..cck, namanya juga hangat-hangat taik ayam eh baru empat halaman udah bosan . Maklumlah, aku emang pembosan orangnya.
            Walah, padahal dalam hati terdalam bilang, “Wah tanggung ni, padahal idenya bagus.”
            Ya udah, aku hanya bisa bilang. “Bye-bye cerita lama. Kapan-kapan kita bertemu lagi ya. Do’a-kan agar pintu hatiku terketuk untuk menyelesaikan ceritamu. Semoga aku merindukanmu.”
             

NB :
Catatan ini sebenarnya udah lamaaa dibikin.
Tujuannya dimuat cuma ingin memehuin blog..
Wuahaha.. [tawa setan]

Minggu, 26 Desember 2010

Tipe2 Peri


(Dalam urutan abjad dan penjelasan secara umum)
  1. Asrais – kecil, lembut, peri laki-laki. Tidak bisa terkena sinar matahari langsung; selain itu mereka akan meleburkan diri kedalam kolam air.
  2. Banshee – “peri wanita”; merupakan jiwa yang melekat pada keluarga-kelurga tertentu. Ketika seorang anggota keluarga mendekati ajalnya, keluarga itu akan mendengar banshee menangis. Tidak selalu menakutkan.
  3. Bogles – Umumnya merupakan iblis-sifat dasarnya Goblin walaupun mereka cenderung untuk merugikan dengan cara melakukan kebohongan dan pembunuhan.
  4. Brownies – Umumnya senang berada disekitar manusia dan pekarangan rumah. Bersahabat dan benar-benar membantu.
  5. Dwarfs – bertubuh pendek gemuk dan kuat. Mencapai dewasa pada usia tiga tahun dan berwarna abu dan berjenggot pada usia tujuh tahun. Disebutkan bahwa mereka tidak bisa terlihat di bawah sinar matahari, sehingga untuk melihatnya harus membawa mereka ke batu. Bagaimanapun, ada ramuan dan mantera-mantera yang bisa membuat mereka tahan terhadap sinar matahari.
  6. Dryads – Mereka adalah jiwa yang menghuni pohon-pohon, khususnya pohon oak. Druid menggunakan mereka sebagai sumber inspirasi.
  7. Elves – Nama lain dari pasukan peri yang diketahui. Mereka dibagi lagi menjadi Seelie dan Unseelie.
  8. Fir Darrig – (Fear Deang) Secara praktis merupakan badut alam yang mengerikan. Mereka bisa merubah wajahnya menjadi siapapun yang diinginkannya.
  9. Gnomes – Elemen-elemen dasar bumi. Mereka hidup dibawah permukaan tanah dan menjaga harta-harta yang ada di bumi. Gnome pekerja logam yang mengagumkan, khususnya untuk pedang dan baju besi.
  10. Goblins – Adalah nama yang digunakan bagi spesies peri yang buruk. Tubuhnya kecil dan jahat, dan biasanya bergerombol karena akan kehilangan kemampuannya jika bertindak sendirian. Mereka biasanya dikendalikan oleh sebuah Mage untuk maksus-maksud jahat.
  11. Gwragged Annwn – (Gwageth anoon) merupakan peri air, yang kadang-kadang mengambil manusia pria untuk dijadikan suami-suaminya.
  12. Gwyllion – Merupakan hantu air scotlandia. Mereka sering tampak sebagai laki-laki berambut atau hantu wanita menyeramkan yang mencegat dan menyesatkan para pejalan malam hari di jalan-jalan pegunungan. Peri gunung senang duduk di atas batu pada salah satu sisi dari jalur pegunungan dan diam-diam mengawasi orang-orang yang menlintas.
  13. HobGoblins – Biasanya merupakan nama untuk makhluk kecil aneh namun bersahabat biasa kita sebut kurcaci.
  14. Knockers (Buccas) – Ruh daerah pertambangan yang bersahabat dengan para penambang. Mereka mengetuk lapisan bijih yang banyak kandungan logamnya.
  15. Leprechauns – Sangat lihai dan licik dan dapat menghilang dalam satu kejapan mata. Mereka terutama sekali sangat mencintai, dan aktif pada hari-hari Saint Patrick, tetapi hari apapun juga baik bagi mereka.
  16. Mer-People-Mermaid – Mereka tinggal didalam air, tetapi mereka mirip manusia dari pinggang ke atas dan memiliki ekor seperti ikan. Mereka sangat menarik sekali sehingga memikat nelayan-nelayan menuju kematiannya. Disebut juga Murdhuacha (muroo-cha) atau Merrows.
  17. Pixies – Sering berwujud landak. Mereka peri yang jahat yang senang mempermainkan manusia dan bangsa peri lainnya. Mereka juga senang mencuri kuda untuk ditunggangi.
  18. Phouka – Bisa terlihat dalam berbagai bentuk binatang dan biasanya berbahaya.
  19. Redcap – Salah satu iblis yang terkenal dari old Border Goblins . Dia tinggal di reruntuhan menara atau kastil-kastil, terutama yang memiliki sejarah kejahatan. Dia mewarnai topinya dalam darah manusia.
  20. Shefro – Peri laki-laki yang mengenakan jubah hijau dan topi merah.
  21. Sidhe (shee) – Nama untuk peri-peri yang tinggal di bawah permukaan tanah. Sebuah gundukan kuburan tua atau bukit kecil yang mempunyai pintu menuju kerajaan peri bawah tanah yang indah.
  22. Sluagh – Ruh penasaran yang kematiannya tak termaafkan, atau para penyembah berhala. Merupakan lawan yang hebat bagi peri dataran tinggi. Spriggans – Diceritakan berwajah jelek, aneh dan kerdil dalam dunia alami mereka, tetapi dapat merubah bentuk dalam ukuran raksasa. Spriggans merupakan gerombolan penjahat yang keji, ahli dalam mencuri, perusak yang cekatan dan membahayakan. Mereka mampu merampok rumah-rumah manusia, menculik anak-anak (dan meninggalkan seorang bayi Spriggan yang menjijikkan sebagai gantinya).
  23. Trolls – Tidak suka terkena sinar matahari. Mereka sering melakukan tarian bagian potongan telinga yang aneh yang disebut ‘Henking’.
  24. Trows – Sama dengan Trolls dan menyukai mereka, anti terhadap sinar matahari. Mereka juga melakukan tarian ‘Henking’.
  25. Urisk – Merupakan peri terpencil yang sering mendiami kolam-kolam sepi. Dia akan sering menampakkan diri pada rombongan manusia namun kemunculan yang aneh dan menyeramkan merupakan cara yang dilakukannya.
  26. Water Fairies – Adalah penyedia makanan bagi tanaman-tanaman dan pengambil kehidupan . Mereka mengkombinasikan kecantikan dengan penghianatan dan kematian. Mereka bisa menjadi teman atau lawan.


Read more: Legenda Tentang Peri, Benarkah Peri Itu Ada? - Asal Kamu Tahu Aja 

Sabtu, 25 Desember 2010

Sebenarnya :
Ilmu yang Mahal atau Sekolah yang Kemahalan [?]


Ulang tahun yang ke-65 tidak begitu banyak memberi perubahan terhadap negeri ini. Yang miskin BERTAMBAH miskin, yang kaya MAKIN kaya. Wah, perubahan yang sungguh menakjubkan. Begitu signifikan, bukan?

Katanya, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.”
Katanya, “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran.”
Katanya, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Semoga saja itu segera terwujud. Amiin.

Oke, kembali kepada topik.
Pernah menonton film “Alangkah Lucunya Negri Ini” ?
Saya sangat senang dengan tema yang diambilnya. Tidak lepas dari fakta yang ada. Begitu banyak sindiran yang tersurat maupun yang tersirat.
Sudah membaca buku “Sekolah Dibubarkan Saja” ?
Topik yang diangkat juga sangat dekat dengan keadaan sekitar kita. Pahamilah, anda akan mengerti apa yang diinginkan penulis.
Pernah mendengar kasus maling buah lalu dipenjara?
Bandingkan dengan kasus mafia pajak atau mafia bangsat lainnya yang banyak tersebar akhir-akhir ini.
Adilkah? Adakah yang namanya perlindungan, jaminan dan kepastian hukum?
Hanya yang bersaku tebal yang merasakannya.

Oh tidak, topik kita sudah mulai amburadul.
Diangkat berdasarkan buku  ‘Sekolah Dibubarkan Saja’ karya kak Chu-diel (maaf, lupa kepanjangannya) serta fakta yang ada, saya mencoba membuat blog ini.
Sekolah, yang menurut Kak Chu-diel adalah ‘pabrik terbesar di Nusantara.’ 
Sekolah, dimana setiap tahunnya menghasilkan bibit-bibit baru generasi bangsa. 
Sekolah, tempat menuntut ilmu. 
Sekolah, dan sekolah.

Kenapa sistem pendidikan kita begitu banyak tingkatannya?

Sesudah bermain dan belajar di TK, dilanjutkan masuk ke SD. Setamat SD menempuh jenjang SMP. Selulus SMP, lanjut ke SMA. Ingin mendapatkan kesejahteraan hidup, laluilah masa kuliah. Karena persaingan yang sudah sangat ketat, lanjutkan sampai meraih sarjana yang tinggi. Dan akhirnya, memperoleh gelar : Profesor. Tidak puas? Atau tuntutan hidup semakin berat? Bunuh diri saja! Toh, sarjana yang diperoleh tidak akan ditanya oleh malaikat penjaga kubur.
Apakah dengan sekolah kita akan mendapatkan pekerjaan dengan mudah?
Atau hanya akan menambah beban : beban pikiran dan beban hidup?

Ilmu itu MAHAL
Oke, bisa diterima.
Tapi kalau,

Sekolah itu KEMAHALAN
Itu tidak bisa! Negara sudah memberikan yang namanya DANA BOS. Tapi kenapa masih ada sekolah yang kemahalan? Secara tidak langsug itu sudah melanggar pasal 31, “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran.” TIDAK SEMUA warga Negara yang berduit. Makan sekali sehari saja udah syukur bagi mereka. Dan sekarang, beban mereka bertambah dengan adanya sekolah yang kemahalan.
Begitu banyak anak-anak jalanan yang putus sekolah hanya karena tak punya biaya. Mereka lebih memilih hal yang benar-benar nyata : bekerja dan menghasilkan uang. Sedang sekolah, belum tentu mereka bisa menghasilkan uang untuk menyambung hidup.



Hmm,
Tolong diperhatikan! Tulisan-tulisan ini dibikin bukan untuk menjelek-jelekan. Tetapi lebih kepada mengutarakan maksud hati.
Terimakasih sudah meluangkan waktunya hanya untuk membaca blog jelek ini. Maaf bila ada maksud yang salah. Sampai jumpa di blog berikutnya J

Masih pentingkah WIRID?

SABTU, 18 DESEMBER 2010

Langit malam baru terlihat. Bintang satu persatu memperlihatkan keindahan cahayanya. Bulan juga tak mau kalah. Namun kelihatannya ia masih sungkan untuk keluar dari tempat persembunyiannya, belakang awan.


Suara panggilan dari mesjid sudah berulang kali terdengar.
"Kepada siswa-siswi SMP dan SMA untuk dapat segera datang ke mesjid. Karena hari ini kita akan melaksanakan wirid remaja. Dan ustadnya sudah datang. Berhubung waktunya singkat yakni sampai isya, diharapkan untuk segera mungkin tiba di mesjid."

Aku yang sedari tadi sedang menikmati semangkuk pangsit langsung buru-buru menghabiskan suapan terakhir. Tujuan pertama: KAMAR MANDI. Aku belum menunaikan shalat maghrib. Padahal, sebelum azan tadi mama sudah memperingatkan bahwa hari ini ada wirid. Namun aku bilang, "Bukan, katanya tanggal 2 mulainya."
Dasar anak kualat!

Sehabis shalat magrib, segera mungkin aku mengambil kuitansi pembayaran karena belum lunas. Lalu dengan langkah gontai - tampang orang tak bersalah - aku berjalan menuju mesjid. Ketika memasuki mesjid, aku langsung menghampiri kakak "O." Seperti pertemuan2 sebelumnya, kalimat yang akan dilontarkan adalah, "Sebenarnya malas ma pergi wirid"

Bagaimana enggak?

Akhirnya acara dimulai.
Ketika ustad menyajikan materi, peserta kelihatan asyik dengan dunia mereka sendiri. Mereka maota. MEMALUKAN !


"Baru kali ini saya ketemu peserta kayak ini." Oh dear,, selalu begini dan takkan berujung.

Hening sesaat. Beliau pun melanjutkan ceramahnya. Sesaat kemudian suara menggelegar. Astaghfirullahal'azdim.

Lelaki tua yang sejak tadi duduk memperhatikan tampak beristighfar sambil mengurut dada. Aku pikir yang ada dipikirannya saat ini adalah seharusnya ia berada di rumah sambil minum secangkir teh hangat daripada menambah dosa mengumpati keadaan. Laki-laki tua yang malang.

Isya pun menjelang.
Gema azan berkumandang. Para peserta disuruh untuk mengambil wuduk.

Pardon me?
Disuruh?
Bukankah sudah selayaknya mereka berdiri sendiri menuju tempat wuduk tanpa dikomando?
Malang nian nasib mu nak hidup di zaman sekarang ini.

Ketika mengambil absen, keributan kembali terjadi.

"Ampun, balai bana ndak anak2 kini ko? Alun SMA lai alah kayak itu parangainyo," kata kakak "O".

Maklumlah, kebanyakan pesertanya adalah murid SMP.

Di dalam hati, aku hanya bisa beristigfar dan memohon pada Tuhan untuk memberi petunjuk pada kami semua,
Amiiiin.

2 komentar:


nesyamahraf mengatakan...
hihi setuju aku dewi :)
dewi airlangga mengatakan...
haha.. sumpah, aku bosan wirid :D

Sabtu, 18 Desember 2010

GAJE :P

Hmm..
Sebenarnya ini gaje..


jujur, pengen banget nulis,
tapi susah menuangkan dalam kata-kata.
Ya udah tunggu beberapa hari aja ya.
Ba-bye



Rabu, 15 Desember 2010

Saya Malu


Entah apa yang masih bisa dibanggakan lagi dari negriku. Mungkin beberapa tahun silam, kesuburan dan kepermaian negriku masih harum didengar. Mungkin beberapa tahun silam kekayaan mineral, minyak bumi, batu bara dan sebagainya masih melimpah ruah di negri yang masih sering kita sebut dengan “negri yang kita cintai ini”. Dan sekarang? Masih samakah yang kita dengar? Masih adakah kenyataan dari semua itu? Atau hanya pendengaran dan penglihatanku sajakah yang salah?

Ya, boleh bisa dikatakan bahwa sedikit-banyaknya kata-kata di atas masih ada di sekitar kita. Namun, apakah itu semakin berkembang atau malah merosot? Kita dapat menilai sendiri bukan? Kita yang menjalani, kita yang menikmati, kita yang menilai dan tentu kita punya andil untuk bertanggung jawab. Apakah kita sudah melaksanakan kewajiban tersebut?

Boleh dikatakan bahwa negri kita ini masih eksis, misalnya masih ada anak bangsa yang mengharumkan negri kita dengan gelar juara dari olimpiade internasional. Tim sepak bola kita, yang selama ini sering kalah tanding, sudah bangkit dan mencoba memutar keadaan. Meningkatnya peringkat tim negri kita dalam ajang ASIAN GAMES 16 di Guangzhou, China. Dan makin maraknya mafia-mafia bajingan di negri tercinta ini.
Mafia yang bermata hijau ketika melihat uang itu juga ikut mengharumkan negri kita. Ya, mereka membuat negri kita berada  di peringkat 10 besar di ajang bergengsi “NEGARA TERKORUP DI DUNIA”. Bukankah itu juga menunjukkan keeksistensian negri kita?

Hm, okelah, saya yang baru akan menginjak usia 16 tidak selayaknya berkata demikian. Tapi, beberapa tahun akan datang, calon-calon mafia sekarang ini akan terus bertebaran di Nusantara. Mereka mungkin akan membuat peringkat kita makin tinggi. Peringkat satu tidak begitu cukup untuk membalas jasa mereka. Hah, cukup memalukan. Benih-benih mafia sudah banyak tertanam. Kelak saat akan disemai, para petani akan mendapatkan panen yang memuaskan. Hama begitu tak kuasa untuk mengganggu mereka.

Pola pikiran dan sikap para pemimpin kita tercinta sudah diturunkan ke generasi bangsa. Tepatnya dari para mafia. Seperti pada para pelajar sekarang. Sedikit banyaknya sikap mereka yang mengarah pada sikap mafia. Banyak diantara mereka yang menganggap sekolah sebagai ajang nongkrong, kumpul kebo, tawuran dan sebagainya. Sekolah bukan kebutuhan bagi mereka. Jangan salahkan mereka. Mereka hanya akibat dari kesenjangan sosial yang ada.

Para pelajar juga banyak mencontoh sikap dari pemimpin mafia kita. Seperti berbuat curang terutama dalam ujian. Saya, selaku pelajar, sangat kecewa akan hal ini. Semakin berkembangnya teknologi, semakin menambah dosa pribadi tersebut. Mereka memanfaatkan HP sebagai sarana mencontek. Mereka serta-merta memfoto lembaran-lembaran buku yang terkait dengan materi ujian. Dengan adanya touchscreen, dengan mudahnya mereka menukar-nukar gambar hasil jepretan tadi. Mereka menggunakan sarana internet untuk browsing ke dunia maya dengan tujuan mencari jawaban soal.

Sungguh memalukan bukan?

"Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya."

Ungkapan yang tepat dalam menggambarkan situasi seperti ini. Para pemimpinnya saja tidak bersih, bagaimana dengan generasi mudanya? Ya, sekali lagi, jangan salahkan mereka. Sistem juga ada kaitannya dengan keadaan ini. Pelajar hanya dituntut untuk mencari nilai setinggi mungkin dengan cara apapun. Sedang mereka tidak mendapatkan manfaat untuk beberapa tahun ke depan dari nilai mereka yang tinggi itu. Ya, karena mereka tidak ada memahami apa yang mereka pelajari. Seharusnya kita belajar untuk memahami bukan untuk mencari nilai tinggi. Sayangnya, prinsip itu tidak begitu berlaku karena untuk melanjutkan pendidikan pun dibutuhkan nilai tinggi agar mendapatkan sekolah favorit. Membingungkan? Tentu.

Tidak dapat dipungkiri, memang saya sedikit terdengar munafik. Saya memang pernah melakukan kecurangan. Apa daya? Apapun ditentukan oleh nilai. Mereka yang bernilai tinggi akibat contekan akan meninggikan dagu. Sedang kami yang telah berusaha keras hanya bisa pasrah dengan nilai pas-pasan. Bahkan kadang pula remedi. Lalu, siapa yang disalahkan?

Mereka tidak dapat dinasihati. 
Mereka selalu benar.
Kapan semuanya akan adil dan bersih?
Demi negri ini jua kan akhirnya?



Sabtu, 11 Desember 2010

Dosa

Sudah lama terpikir olehku untuk memajukan pendidikan anak bangsa, terutama anak jalanan. Memang, begitu sering terdengar betapa banyaknya orang yang berpikir negatif terhadap mereka. Namun itu tak pernah menyurutkan niatku.
Setelah sekian lama aku bermimpi, akhirnya mimpi itu terwujud. Sudah 20 tahun lamanya aku mengabdi di kelas berdinding rotan ini. Bukan, tempat ini tidak pantas disebut kelas. Ya, kalian pasti berpikir seperti itu. Mengapa tidak? Tempat ini hanya berukuran 1x2 meter. Hanya beralaskan bekas reklame serta berdinding rotan yang rapuh. Tidak juga beratap, hanya ditutupi seng-seng yang telah berkarat, yang aku kumpulan sewindu silam. Ya, kami sudah sering gonta-ganti atap. Itupun hanya atap pungutan. Letak ‘kelas’ ini pun bersebelahan dengan tempat pembuangan terakhir. Pemandangan yang indah tak akan kau temui disini. Hanya sampah yang menggunung yang akan menyapamu.
Jika hujan turun, aroma sampahlah yang akan menemani. Sebanyak apapun parfum yang kau pakai tidak akan mengalahkannya. Ini bukan lelucon, kawan. Bahkan aku sendiri tidak pandai menggombal seperti yang dilakukan manusia berdasi di negara kita. Oh Tuhan, ampunilah dosaku. Aku tidak akan membahas soal ini.
Disini hanya ada satu guru. Itulah aku. Aku yang biasa dipanggil Tuan Toni oleh anak didikku. Sebenarnya aku tak suka dipanggil tuan. Cukup dengan Pak Toni saja. Atau mungkin sekarang aku sudah pantas dipanggil Kakek Toni. Haha, aku memang sudah tua untuk itu. Tak salah, penyakit sudah silih berganti menghampiriku.
Awalnya, banyak orang yang menganggapku bodoh. Seharusnya aku bisa melanjutkan pendidikan karena orang tuaku masih mampu membiayainya. Keluargaku memang terpandang di kampung. Aku sebagai anak tunggal memiliki tanggung jawab besar, aku harus mensejahterakan keluarga. Ayah sempat memarahi cita-citaku. Dia bilang aku tolol. Ya, memang. Namun, aku pikir cita-citaku itu mulia. Kisah ini cukup buruk untuk dikisahkan.
“Apa-apaan kau ini? Empat tahun lamanya aku kuliahkan, akhirnya kau hanya memilih menjadi guru untuk mereka? Apa maumu sebenarnya?”
“Mauku hanya itu, Ayah. Tolong restui aku.”
“Apa katamu? Restui? Tidakkah kau memikirkan betapa kerasnya hidup jika profesimu seperti itu? Dari mana istri dan anakmu makan. Cih, boro-boro mereka bisa makan, masa bujangmu hanya akan mengemis kepadaku.” Ayah membanting pintu dan masuk ke dalam kamarnya. Ibu menatapku penuh arti. Tatapan itu seolah-olah memberi harap padaku. Oh, wanita itu. Apakah aku telah melakukan kesalahan?
“Nak, ibu tak bisa membantu banyak. Mungkin ibu akan berusaha mendinginkan hati bapakmu. Kau tahulah, beliau tidak suka jika keinginannya ditolak. Ibu mohon, kau jangan begitu nekat, nak. Ingat, bapakmu udah begitu tua untuk kau hardik.”
Aku hanya bisa diam, mematung di kursi makan. Apa salahku? Aku hanya ingin melakukan perbuatan mulia. Lalu bapak? Lelaki itu terlalu egois ketimbang usianya. Oh Tuhan, beri aku jalan.
Ibu tampak sibuk dengan piring-piring yang dicucinya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Lalu, ia membilas tangannya dan masuk ke kamar. Sesaat kemudian suasana begitu hening. Setidaknya ada bunyi sayup-sayup dari kamar. Aku masih tetap dengan sikap inersiaku. Hanya saja otakku penuh dengan berbagai pertanyaan, ‘Apakah ayah akan merestuinya?’
Akhirnya ibu keluar kamar dengan tersenyum. Aku yakin, ibu sedang menyembunyikan kesedihannya. Wanita itu begitu tegar. Aku tahu, ia tadi menangis. Mata dan hidungnya sembab, juga dari suaranya yang serak.
“Bagaimana?”
“Ayahmu hanya butuh waktu. Kau harus bersabar nak. Jangan gegabah mengambil keputusan. Apa kau telah memikirkannya matang-matang?”
“Aku rasa begitu. Bukankah tujuanku mulia? Jika mereka tidak mendapatkan pendidikan, lalu bagaimana bangsa ini bisa bebas dari buta aksara? Bagaimana bangsa ini bisa maju. Ibu sepahamkan denganku?”
“Ibu tahu, itu sangat mulia anakku. Ya, ibu tidak dapat berbuat banyak. Kau dan ayahmu hanya butuh waktu. Kelak, dengan berkepala dingin masalah ini akan terselesaikan juga akhirnya.”
Setahun sudah aku menunggu restu ayah. Tapi, setiap masalah ini aku pertanyakan, ia tetap dengan kepala batunya. Akhirnya aku memilih untuk diam. Saat ini aku masih menganggur di rumah. Palingan aku hanya bekerja apabila ada tetangga yang memanggil untuk memperbaiki lampu atau selang air mereka. Aku sudah berkomitmen bahwa aku tidak akan bekerja selain sebagai ‘guru’.
Kesabaranku sudah habis. Sepertinya ayah tak mau berkompromi. Akhirnya aku nekat. Aku kabur dari rumah dan menumpang di rumah kawanku yang sepaham denganku. Sebenarnya aku tak sampai hati karena aku rasa saat ini ibu pasti sedang menangis. Seharusnya masalah ini tidak menimpamu, ibu.
Beberapa bulan kemudian, ayah mengetahui keberadaanku. Dua tahun lamanya ayah tak mau menyapaku. Untunglah, ibu masih memperhatikanku. Beliau sering berkunjung ke kosanku. Ia juga sering datang ke ‘kelas’ ini untuk berbagi cerita kepada murid-muridku.
Namun aku menyesal, dua tahun kemudian ayah mengalami sakit parah. Aku bersikeras untuk tidak menjenguk ayah. Pada akhirnya, ayah dipanggil oleh Sang Pencipta. Rasa kecewa, sedih dan menyesal bercampur aduk. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak sempat meminta maaf pada beliau. Dan kini aku sadar, ayah ada benarnya juga. Hidupku belum begitu mapan. Tak selayaknya aku mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Seharusnya aku bersekolah tinggi-tinggi dan bekerja sebagai direktur perusahaan. Dari sana aku bisa membangun sekolah untuk anak jalanan sedang diriku masih bisa bersantai di balik kursi goyang. Tapi, yang namanya sesal datang kemudian hari. Aku tak ada pilihan. Umurku semakin senja. Entah apa yang akan dibalas Tuhan terhadap dosaku kepada ayah. Oh, sudahlah. Sekarang aku hidup untuk hari depan, masa lalu tidakkan bisa diputar ulang.