Sudah lama terpikir olehku untuk memajukan pendidikan anak bangsa, terutama anak jalanan. Memang, begitu sering terdengar betapa banyaknya orang yang berpikir negatif terhadap mereka. Namun itu tak pernah menyurutkan niatku.
Setelah sekian lama aku bermimpi, akhirnya mimpi itu terwujud. Sudah 20 tahun lamanya aku mengabdi di kelas berdinding rotan ini. Bukan, tempat ini tidak pantas disebut kelas. Ya, kalian pasti berpikir seperti itu. Mengapa tidak? Tempat ini hanya berukuran 1x2 meter. Hanya beralaskan bekas reklame serta berdinding rotan yang rapuh. Tidak juga beratap, hanya ditutupi seng-seng yang telah berkarat, yang aku kumpulan sewindu silam. Ya, kami sudah sering gonta-ganti atap. Itupun hanya atap pungutan. Letak ‘kelas’ ini pun bersebelahan dengan tempat pembuangan terakhir. Pemandangan yang indah tak akan kau temui disini. Hanya sampah yang menggunung yang akan menyapamu.
Jika hujan turun, aroma sampahlah yang akan menemani. Sebanyak apapun parfum yang kau pakai tidak akan mengalahkannya. Ini bukan lelucon, kawan. Bahkan aku sendiri tidak pandai menggombal seperti yang dilakukan manusia berdasi di negara kita. Oh Tuhan, ampunilah dosaku. Aku tidak akan membahas soal ini.
Disini hanya ada satu guru. Itulah aku. Aku yang biasa dipanggil Tuan Toni oleh anak didikku. Sebenarnya aku tak suka dipanggil tuan. Cukup dengan Pak Toni saja. Atau mungkin sekarang aku sudah pantas dipanggil Kakek Toni. Haha, aku memang sudah tua untuk itu. Tak salah, penyakit sudah silih berganti menghampiriku.
Awalnya, banyak orang yang menganggapku bodoh. Seharusnya aku bisa melanjutkan pendidikan karena orang tuaku masih mampu membiayainya. Keluargaku memang terpandang di kampung. Aku sebagai anak tunggal memiliki tanggung jawab besar, aku harus mensejahterakan keluarga. Ayah sempat memarahi cita-citaku. Dia bilang aku tolol. Ya, memang. Namun, aku pikir cita-citaku itu mulia. Kisah ini cukup buruk untuk dikisahkan.
“Apa-apaan kau ini? Empat tahun lamanya aku kuliahkan, akhirnya kau hanya memilih menjadi guru untuk mereka? Apa maumu sebenarnya?”
“Mauku hanya itu, Ayah. Tolong restui aku.”
“Apa katamu? Restui? Tidakkah kau memikirkan betapa kerasnya hidup jika profesimu seperti itu? Dari mana istri dan anakmu makan. Cih, boro-boro mereka bisa makan, masa bujangmu hanya akan mengemis kepadaku.” Ayah membanting pintu dan masuk ke dalam kamarnya. Ibu menatapku penuh arti. Tatapan itu seolah-olah memberi harap padaku. Oh, wanita itu. Apakah aku telah melakukan kesalahan?
“Nak, ibu tak bisa membantu banyak. Mungkin ibu akan berusaha mendinginkan hati bapakmu. Kau tahulah, beliau tidak suka jika keinginannya ditolak. Ibu mohon, kau jangan begitu nekat, nak. Ingat, bapakmu udah begitu tua untuk kau hardik.”
Aku hanya bisa diam, mematung di kursi makan. Apa salahku? Aku hanya ingin melakukan perbuatan mulia. Lalu bapak? Lelaki itu terlalu egois ketimbang usianya. Oh Tuhan, beri aku jalan.
Ibu tampak sibuk dengan piring-piring yang dicucinya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Lalu, ia membilas tangannya dan masuk ke kamar. Sesaat kemudian suasana begitu hening. Setidaknya ada bunyi sayup-sayup dari kamar. Aku masih tetap dengan sikap inersiaku. Hanya saja otakku penuh dengan berbagai pertanyaan, ‘Apakah ayah akan merestuinya?’
Akhirnya ibu keluar kamar dengan tersenyum. Aku yakin, ibu sedang menyembunyikan kesedihannya. Wanita itu begitu tegar. Aku tahu, ia tadi menangis. Mata dan hidungnya sembab, juga dari suaranya yang serak.
“Bagaimana?”
“Ayahmu hanya butuh waktu. Kau harus bersabar nak. Jangan gegabah mengambil keputusan. Apa kau telah memikirkannya matang-matang?”
“Aku rasa begitu. Bukankah tujuanku mulia? Jika mereka tidak mendapatkan pendidikan, lalu bagaimana bangsa ini bisa bebas dari buta aksara? Bagaimana bangsa ini bisa maju. Ibu sepahamkan denganku?”
“Ibu tahu, itu sangat mulia anakku. Ya, ibu tidak dapat berbuat banyak. Kau dan ayahmu hanya butuh waktu. Kelak, dengan berkepala dingin masalah ini akan terselesaikan juga akhirnya.”
Setahun sudah aku menunggu restu ayah. Tapi, setiap masalah ini aku pertanyakan, ia tetap dengan kepala batunya. Akhirnya aku memilih untuk diam. Saat ini aku masih menganggur di rumah. Palingan aku hanya bekerja apabila ada tetangga yang memanggil untuk memperbaiki lampu atau selang air mereka. Aku sudah berkomitmen bahwa aku tidak akan bekerja selain sebagai ‘guru’.
Kesabaranku sudah habis. Sepertinya ayah tak mau berkompromi. Akhirnya aku nekat. Aku kabur dari rumah dan menumpang di rumah kawanku yang sepaham denganku. Sebenarnya aku tak sampai hati karena aku rasa saat ini ibu pasti sedang menangis. Seharusnya masalah ini tidak menimpamu, ibu.
Beberapa bulan kemudian, ayah mengetahui keberadaanku. Dua tahun lamanya ayah tak mau menyapaku. Untunglah, ibu masih memperhatikanku. Beliau sering berkunjung ke kosanku. Ia juga sering datang ke ‘kelas’ ini untuk berbagi cerita kepada murid-muridku.
Namun aku menyesal, dua tahun kemudian ayah mengalami sakit parah. Aku bersikeras untuk tidak menjenguk ayah. Pada akhirnya, ayah dipanggil oleh Sang Pencipta. Rasa kecewa, sedih dan menyesal bercampur aduk. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak sempat meminta maaf pada beliau. Dan kini aku sadar, ayah ada benarnya juga. Hidupku belum begitu mapan. Tak selayaknya aku mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Seharusnya aku bersekolah tinggi-tinggi dan bekerja sebagai direktur perusahaan. Dari sana aku bisa membangun sekolah untuk anak jalanan sedang diriku masih bisa bersantai di balik kursi goyang. Tapi, yang namanya sesal datang kemudian hari. Aku tak ada pilihan. Umurku semakin senja. Entah apa yang akan dibalas Tuhan terhadap dosaku kepada ayah. Oh, sudahlah. Sekarang aku hidup untuk hari depan, masa lalu tidakkan bisa diputar ulang.
2 komentar: