Minggu, 29 April 2012

Laut Tidak Menerima Mayat

"Laut tidak menerima mayat, nak. Jadi yakinlah bahwa jasad ayahmu akan segera ditemukan." Ah, mungkin perkataan ibu ada benarnya juga.

Namun, aku tidak bisa dengan mudah melupakan peristiwa itu. Pagi itu, malapetaka besar itu terjadi. Oh Tuhan, aku tidak ingin mengenangnya saat ini. Aku tidak bisa. Aku tidak boleh menangis. Aku sudah cukup menderita dan akan terus begini apalagi ditambah dengan kematian ayah. Aku pernah berjanji pada ayah untuk tidak menangisi apapun yang terjadi, dan sekarang aku tidak bisa menepatinya, maafkan aku ayah. Aku tidak setegar batu karang, batu karang pun kadang rapuh oleh terjangan ombak. Jadi izinkanlah aku kali ini, ayah. Aku sudah cukup tegar seminggu ini. Dan, tiada hasil ayah. Tuhan tidak adil padaku. Ah, aku tidak boleh berkata demikian. Pernah suatu hari, kau menasihatiku bahwa Tuhan sangat adil. Tapi, astaghfirullah, tidak sepantasnya aku meragukan perkataanmu.

Ya, sudah seminggu lamanya aku berdiam diri. Menyepi. Aku tidak banyak berkomentar saat mendengar kabar di pagi itu. Aku sadar, peristiwa itu nyata. Aku menguping pembicaraan ibu dengan Bu Zainab, tetangga kita. Aku bingung harus bersikap bagaimana. Aku tidak diajarkan untuk jadi manusia cengeng, aku selalu tegar menghadapi semua masalah. Termasuk ketika Tika, anaknya Bu Zainab mencubitku. Ketika itu usiaku baru 7 tahun. Cubitannya sangat menyakitkan, aku sangat ingin membalasnya, tapi ibu keburu datang dan menasihatiku. Aku marah pada ibu dan mendiaminya berhari-hari karena menyalahkanku. Tapi aku tidak menangis. Dan kemudian hari ibu datang mengelus pipi dan mengusap rambutku dengan lembut. Ibu bilang, "Maafkan ibu, nak. Ibu tidak bermaksud menyalahkanmu. Ibu tahu kau berada di posisi yang benar. Tapi ibu ingin kau tidak menjadi anak yang pendendam. Kau harus menjadi anak yang pemaaf dan sabar. Kita harus sabar, nak. Karena hidup itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kelak kau akan mengerti maksud ibu." Aku mengangguk pelan. Hanya sedikit maksud yang aku tangkap. "Kita harus sabar, nak." Tapi apakah ibu sadar bahwa sabar ada batasannya. Dan sekarang saatnya untuk menghilangkan kata sabar, karena aku telah lelah dengannya.

Ayah juga pernah menasihatiku untuk selalu bersabar. Namun aku yakin, ayah akan mengerti dengan keadaanku saat ini. Dimana aku tidak bisa menuruti perintah ayah untuk bersabar.

Tuhan memang maha sabar. Tidak untuk aku, ciptaannya. Dadaku telah sesak dengan semua persoalan ini. Aku ingin berjumpa dengan ayah. Tentu perjumpaan untuk terakhir kalinya.

Sudah seminggu ini hujan bercampur badai menghantam bumi padang. Aku teringat kata ibu dan itu benar. "Laut tidak menerima mayat." Tapi aku masih larut dalam kesedihan ini, ayah. Aku belum jua berjumpa denganmu.

Padang, 29 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar